Sunday 21 August 2011

Jalur Sepeda Jakarta Timur, 23 km Sepanjang BKT


Sumber: http://bit.ly/pIGmO0

JATINEGARA (Pos Kota) – Pengguna sepeda yang berdomisili di Jakarta Timur agaknya bisa bernafas lega. Pasalnya, Pemkot Jakarta Timur berencana membangun jalur sepeda di wilayahnya.
Nantinya, lintasan khusus sepeda tersebut akan menjadi yang terpanjang di ibukota karena akan dibuat di sepanjang koridor kering Banjir Kanal Timur (BKT) yang melintas hingga ke kawasan Marunda, Jakarta Utara.

“Saya telah berkoordinasi dengan Walikota Jakarta Utara, sehingga jalur sepeda tersebut akan sampai Marunda,” kata Walikota Jakarta Timur, Murdhani, kepada wartawan, seusai mengadakan Buka Puasa bersama dengan pejabat dan tokoh masyarakat, di Rumah Dinas Walikota Jakarta Timur, Jl. Taman Cornel Simanjuntak No. 11, Jatinegara, Jumat (19/8).

Saat ini, pembuatan jalur sepeda yang panjangnya mencapai 23 Km atau sepanjang BKT tersebut, masih dalam persiapan karena menunggu pembuatan koridor kering BKT rampung. “Saat ini di koridor kering BKT sendiri masih dalam tahap pembangunan jalan, sehingga untuk pembangunan jalur sepeda akan dilakukan secara bertahap,” ungkap Murdhani.

Selain di sepanjang jalur BKT, lintasan khusus sepeda juga akan dibangun di sepanjang Jl. Pemuda Raya dan Jl. Pramuka Raya. Guna memuluskan rencana tersebut, Walikota mengaku terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait.

“Pembangunan jalur sepeda juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga perlu direncanakan secara matang. Saya sendiri terus mengupayakan agar jalur khusus sepeda tersebut dapat cepat teralisir,” ujarnya. (yulian/b)

Friday 19 August 2011

Bersepeda Sekaligus Wisata Pantai di Lombok Audax 2012



Selasa, 09/08/2011 13:20 WIB
Bersepeda Sekaligus Wisata Pantai di Lombok Audax 2012
Sportku.com (sepeda) - detiksport



Jakarta - SPORTKU.COM - Anda ingin bersepeda mengelilingi Pulau Lombok nan indah? Jika tertarik, Anda bisa mempersiapkan diri dari sekarang karena kesempatan itu ditawarkan dalam event Lombok Audax, yang diadakan 31 Maret – 1 April 2012.

Lombok Audax adalah bersepeda jarak jauh 400 km mengelilingi Pulau Lombok yang akan ditempuh selama dua hari. Selama perjalanan, peserta berhenti setelah 50 km dan peserta dapat istirahat, makan dan minum.





Sepeda, sepeda balap, lombok audax, audax,


Audax bukanlah balapan tapi juga bukanlah bersepeda secara santai. Rata-rata kecepatan pada Audax ini yaitu 22,5 - 30 km/ jam. Audax ini tidak seketat balapan namun ada waktu yang diberikan oleh penyelenggara agar perjalanan tidak terlalu molor.

Peserta bebas untuk berjalan sendiri atau berkelompok dengan rute yang telah ditentukan, serta mendapat kawalan resmi dari aparat keamanan. Dan pastinya, segala keindahan pesona Pulau Lombok bisa dinikmati sepanjang perjalanan.





Sepeda, sepeda balap, lombok audax, audax,




Sepeda, sepeda balap, lombok audax, audax,




Info lebih lanjut hubungi:
Tenne Permatasari
+628170070770
teax@lombokaudax.com
www.lombokaudax.com

400 km Cycling
Breathless in Breathtaking
Tropical Scenery
31 March - 1 April 2012


(Info lain lihat di sini)


( a2s / a2s )

Cadence alias putaran kayuh sepeda

Fakta Ilmiah tentang Cadence
Iwan Setyo Wibowo • 2 hari yang lalu • 13 komentar di Kategori: Umum

Beberapa rekan kerja saya keheranan melihat saya nekat tetep nyepedah ke kantor tiap hari meski sedang puasa. Berikut ini percakapan saya dengan salah seorang dari mereka.

Teman: Puasa tetap nyepeda gak lemes pak?

Saya: InsyaAllah gak tuh, biasa aja.

Teman: Gak kehausan juga pak ?

Saya: Alhamdulillah selama ini gak ngrasa haus juga.

Teman tersebut (yang setengah gak percaya dengan jawaban saya) kembali bertanya: Kok bisa?

Saya: Kalau kita komit dalam melakukan sesuatu dan mau belajar tentang ilmunya, insyaAllah bisa. Banyak kok tips bersepeda saat berpuasa dari teman-teman bike to work. Bersepeda itu ternyata ada ilmunya bahkan ada fakta ilmiahnya juga lho.



Dari hasil googling di internet akhirnya saya nemu artikel ilmiah tentang cadence yang dalam dunia persepedaan sudah menjadi mitos sebagai cara bersepeda paling efisien, hemat energi dan gak bikin capek. Nah kalo ini bisa diamalkan selama berpuasa tentunya bikin acara sepedaan saat puasa tidak bikin lemes dan haus.

(Cadence adalah kecepatan kita memutar crank (pedal) dalam satu menit biasanya satuannya rpm (rotation per minute). Kalo ada yang bilang cadence 50 artinya dalam 1 menit kita memutar crank sebanyak 50 putaran penuh).



Inilah fakta-fakta ilmiah tentang cadence menurut salah satu artikel pada cycling science

1. Dengan menggunakan subyek penelitian inexperience dan recreational cyclists diperoleh kesimpulan cadence dengan efisiensi tertinggi adalah sekitar 50 – 60 rpm, demikian hasil penelitian Benedict & Cathcart (1913), Dickinson (1929), Garry & Wishart (1931), Gaesser & Brooks (1975), Seabury et al (1977) dan Suzuki (1979). Efisiensi disini diartikan sebagai perbandingan antara tenaga yang dihasilkan (pedaling power) dengan energi (hasil metabolisme) yang dikeluarkan oleh cyclist.

2. Dengan menggunakan subyek penelitian experience cyclist maupun experience noncyclist menunjukan cadence paling ekonomis ternyata juga masih berkisar pada 50 – 65 rpm. Demikian hasil penelitian Marsh & Martin (1993) maupun Hagberg et al (1981). Paling ekonomis diartikan sebagai paling sedikit mengkonsumsi oksigen.

3. Penelitian yang dilakukan dari perspektif biomekanikal menyimpulkan, jika kita pedaling pada prefered cadence maka otot kita tidak cepat lelah. Berdasarkan penelitian Crowninshield & Brand (1981), pada saat kita pedaling pada prefered cadence maka kontraksi grup otot agonist (quadriceps) dan antagonis (hamstring) paling minimal akibatnya kedua otot ini tidak akan cepat lelah (stress). Dengan menggunakan data percobaan dan model komputer Redfield & Hull (1986) juga menemukan bahwa pada prefered cadence maka rata-rata moment pada pinggul dan lutut paling minimal. Penelitian lanjutan oleh Hull et all (1988) juga menemukan bahwa pada prefered cadence, ketegangan 12 otot kaki paling minimal.

4. Masih dari perspektif biomekanikal. Otot kaki terdiri dari ribuan serat otot (muscle fibre) dimana beberapa adalah slow-twitch fiber, beberapa yang lain fast-twitch fiber dan yang lainnya adalah intermediate fiber. Slow-twitch fiber mempunyai kualitas aerobic endurance (kurang powerful tapi tidak cepat lelah), sementara fast-twitch fiber lebih powerful tetapi lebih cepat lelah. Adapun intermediate fiber memiliki sifat diantara dua fiber tersebut yaitu power lebih besar dari slow-twitch fiber tetapi lelahnya tidak secepat fast-twitch fiber. Tubuh kita secara otomatis akan memilih fiber mana yang harus bekerja sesuai dengan beban. Misalnya Saat berjalan kaki maka secara otomatis slow-twitch fiber-lah yang paling banyak bekerja, sebaliknya saat berlari maka fast-twitch fiber-lah yang paling banyak digunakan. Nah pada prefered cadence diperkirakan fast-twitch fiber lebih sedikit digunakan sehingga otot tidak cepat lelah ( Gaesser & Brooks, 1975)

5. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ahlquist et al (1992) dengan mengukur penipisan glikogen untuk mengetahui pola rekruitmen slow dan fast-twich fiber oleh tubuh. Slow-switch fiber menghasilkan sebagian besar energinya dari metabolisme oksidatif dimana glukosa dan lemak dipecah dan dengan adanya oksigen maka terbentuk ATP dalam jumlah besar. ATP atau adenosine triposphate adalah sumber energi tercepat (instant) untuk aksi otot. Sebaliknya fast-twitch fiber memecah lebih banyak glukosa daripada yang bisa dioksidasi dimana hasilnya adalah asam laktat. Asam laktat sebenarnya dapat digunakan kembali sebagai sumber energi, tetapi jika dalam jumlah besar menjadi saling terhubung sehingga justru menurunkan kemampuan otot menghasilkan energi dan menyebabkan otot menjadi lelah. Hasil penelitian Ahlquist et al menunjukkan bahwa pada cadence tinggi (untuk kasus experience cyclist) slow-switch fiber yang digunakan mempunyai jumlah yang sama dengan cadence rendah tetapi fast-twitch fiber yang digunakan lebih sedikit. Sehingga asam laktat yang terbentuk lebih sedikit, akibatnya otot tidak cepat lelah. Tetapi harus diingat bahwa masing-masing orang ternyata berbeda dalam hal prosentase penggunaan slow dan fast-twitch fiber, itulah mengapa masing-masing orang juga memiliki prefered cadence yang berbeda-beda.

6. Dari semua hasil penelitian diatas, menurut cycling science, pemilihan cadence sekitar 100 rpm oleh atlit-atlit sepeda elite ternyata BUKAN karena cadence 100 rpm tersebut paling efisien (penggunaan energinya) dan paling ekonomis (konsumsi oksigen) tetapi lebih karena pada cadence tersebut si atlit merasakan pedaling paling nyaman dan bikin tidak cepat lelah otot-otot kakinya.Adapun untuk recreational cyclist yang tidak memburu waktu dan ingin menghemat tenaga, disarankan pedaling pada kecepatan 50 – 60 rpm karena terbukti dari banyak hasil penelitian ilmiah, cadence inilah yang paling efisien, paling ekonomis dan tetep tidak bikin otot cepat capek.



Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana korelasi logis cadence dengan lemas dan haus?

Interpretasi saya kira-kira begini,

1. Penelitian tadi menunjukkan bahwa cadence 50-60 rpm adalah yang paling efisien. Nah kalo saya pedaling pada kecepatan ini bukankah berarti saya paling sedikit mengeluarkan tenaga. Kalau saya sedikit mengeluarkan tenaga artinya tubuh saya tidak akan kekurangan energi sehingga saya tidak akan lemas dan lesu. Bukankan lemas bin lesu itu adalah alarm alamiah dari tubuh kita yang menunjukkan bahwa energi tubuh kita mulai habis jadi harus segera di-recharge dengan makanan.

2. Adapun hubungannya dengan haus kira-kira begini. Untuk menghasilkan energi maka tubuh akan membakar lemak dan glukosa dimana efeksampingnya adalah suhu tubuh akan menjadi naik. Secara otomatis tubuh akan menghasilkan keringat untuk menurunkan suhunya. Semakin banyak energi yang dibutuhkan otomatis semakin banyak lemak dan glukosa yang dibakar, alhasil semakin tinggi suhu tubuh, semakin banyak pula keringat yang keluar dan ujung-ujungnya tubuh menjadi dehidrasi. Rasa haus adalah alarm alamiah dari tubuh yang menunjukkan kalau tubuh mulai dehidrasi. Nah dengan pedaling secara efisien (50 – 60 rpm) artinya energi yang dibutuhkan sedikit sehingga glukosa dan lemak yang dibakar sedikit, suhu tubuh naik tapi tidak terlalu banyak, keringat untuk mendinginkan tubuh juga cukup sedikit saja, akhirnya tubuh tidak mudah dehidrasi dan tidak mengeluarkan “alarm” berupa rasa haus. Cadence 50 – 60 rpm juga dikatakan sebagai paling ekonomis (paling sedikit konsumsi oksogennya) artinya kita tidak ngos-ngosan. Saat kita ngos-ngosan biasanya kita akan berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin melalui mulut, nah ini salah satu yang bikin mulut dan tenggorokan kita cepat berasa kering hingga mengundang rasa haus. Oh ya, suhu tubuh juga akan naik ketika kita beraktifitas dibawah terik matahari nan panas yang tentunya juga keringat kita akan banyak mengucur untuk mendinginkannya. Jadi jangan sepedahan dibawah terik matahari kalau gak mau kehausan.



Semoga bermanfaat .....



Referensi

What determines the optimal cadence? from: Cycling Science – Summer 1996


Tag: Umum , sepeda , cadence , lemas , haus

Wednesday 17 August 2011

BIKELANSIA ke Pelabuhan Sunda Kelapa











BIKELANSIA KE PELABUHAN SUNDA KELAPA
by Bambang Gunawan on Wednesday, 17 August 2011 at 15:03

Penasaran, akhirnya berhasil juga gowes ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, pada pagi hari tanggal 17 Agustus 2011, merayakan HUT ke-66 Republik Indonesia.



Kalau yang penasaran, anak muda adalah wajar. Tetapi yang penasaran ini adalah LANSIA yang sudah punya KTP seumur hidup yaitu Oma Nita Oen Tien dan Opa Bambang Gunawan.



Kendaraan yang digunakan bukan mobil atau motor tetapi sepeda alias gowes. Sengaja pakai sepeda lipat atau SELI, kalau mendadak tidak kuat gowes lagi bisa dilipat, pulang naik taksi.



Tepat Pukul 6 pagi, berangkat dari Roxy lewat Jalan Gajah Mada menuju Museum Fatahillah.

Di Museum Fatahillah sempat bingung, jalan mana yang harus dilalui untuk ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Terpaksa trial and error saja. Tanpa terduga ketemu Jembatan Gantung Sunda Kelapa.

Cukup sulit bikin foto ini karena lalu lintas ramai sekali. Kemudian ketemu gedung tua ini.



Lalu ketemu Monumen Jangkar ini. Ada yang tahu sejarah Monumen Jangkar ini? Kapan didirikan?

Sayang ya tugu JANGKAR ini banyak coretan.

Sebelah kiri pada foto Monumen atau Tugu Jangkar ini adalah Watchtower Sunda Kepala, untuk mengawasi lalu lintas kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Foto kiri diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sunda_Kelapa sedang foto kanan dibuat pada hari Rabu, 17 Agustus 2011, dengan bukti bahwa Oma Nita Oen Tien berhasil sampai naik sepeda.



Perjalanan selanjutnya ke Museum Bahari yang sayang tutup sehingga tidak bisa masuk ke dalam.

Tujuan utama adalah Pelabuhan Sunda Kelapa tetapi ternyata nyasar ke Pasar Ikan yang kebetulan tidak terlalu ramai walaupun tetap ada ikan yang dijual.



Ketika hampir putus asa ketemu gedung VOC.

Segera berhenti untuk bikin foto lebih dahulu. Akhirnya ketemu juga Pelabuhan Sunda Kelapa yang telah berusia 500 tahun dengan kapal-kapal Pinisi yang unik.

Perjalanan pulang tetap gowes melalui Jalan Hayam Wuruk dan tiba dengan selamat di rumah dengan lama perjalanan selama kurang lebih tiga jam.



Terima kasih kepada http://annekelana.wordpress.com/category/wisata/ yang menjadi sumber info untuk nama tempat di atas.



Bambang Gunawan, 17 Agustus 2011

Gowes Pantaw Jalur Mudik

Catatan Perjalanan 850 Km_Gowes Jurnalistik: Pantau Jalur Mudik 2011
@}ray • 6 jam yang lalu • 4 komentar di Kategori: Umum

Gowes 850 Km, Sampai Juga ke Surabaya

Hery Prasetyo | Sabtu, 23 Juli 2011 | 01:40 WIB
SURABAYA, KOMPAS.com — Tim Gowes Jurnalistik: Pantau Jalur Mudik 2011 akhirnya sampai juga ke Surabaya, tujuan terakhir dalam bersepeda dari Jakarta. Tepat pukul 15.00 WIB, Jumat (22/7/2011), lima penggowes masuk Garden Palace Hotel, tempat menginap.

Dua pembalap yang mengikuti ekspedisi ini, Devino Oktavianus dan Marta Murfeni, juga penggowes dari komunitas sepeda Semarang, Lioe Irwan, langsung menyalami Kompas.com. Mereka menilai perjalanan ini sukses, baik dari segi tur bersepeda, maupun tugas jurnalistik.

"Wah, selamat. Ini tur yang sukses. Semua etape dijalani dengan baik dan setiap hari semakin baik," kata Marta Murfeni.

"Saya kira ini tur yang sukses, tak ada kendala yang berarti. Kekuatan para penggowes juga semakin baik, dan tugas-tugas jurnalistik yang dilakukan wartawan Kompas.com cukup memuaskan. Saya malah baru kali ini tahu kegiatan menggowes sambil meliput berita," tambah Devino yang pernah sendirian bersepeda dari Jakarta ke Sabang, Aceh.

Gowes Jurnalistik dimulai pada 15 Juli dengan start dari depan Kantor Kompas Gramedia, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta. Etape pertama sampai Pamanukan, kemudian ke Pekalongan, Cirebon, Semarang, Solo, Ngawi, Jombang, dan terakhir Surabaya. Sebelumnya, tim Gowes Jurnalistik juga melakukan survei sepanjang jalur utara dari Jakarta ke Semarang, Demak, Kudus, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Pulangnya melewati Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Solo, Yogyakarta, Tasikmalaya, Bandung, dan kembali ke Jakarta.

Secara total, tim bersepeda menempuh perjalanan sepanjang 850 kilometer. Rata-rata, setiap etape, tim menempuh jarak 112 kilometer.

"Lihat saja hasilnya. Semula kita sampai ke tempat tujuan malam hari, kemudian makin hari makin cepat. Ini terutama dari Pekalongan ke Semarang mulai masuk hotel sore pukul 17.00, kemudian lebih cepat dan lebih cepat. Artinya, tenaga dan stamina penggowes justru lebih kuat," ungkap Devino.

Gowes Jurnalistik ini memang menjadi brand Kompas.com untuk melakukan peliputan unik, sekaligus mengampanyekan penggunaan sepeda yang ramah lingkungan dan bergaya hidup sehat. Direncanakan, kegiatan-kegiatan lain akan dilakukan dengan tema berbeda.

http://lipsus.kompas.com/gowesmudik2011

Tuesday 16 August 2011

HUT Kemerdekaan RI ke 66














Dirgahayu Indonesia

Kelap kelip kali ini di bulan Agustus, di bulan puasa pula. Bulan yang penuh berkat. Begitu sampai di Thamrin, kemacatan telah menghadang. Pada hal dari Tugu Proklamasi awal mulai bergerak sepeda lancar lancar saja. Memang hari kerja yakni Jumat tgl. 19 .Merayap di sela sela mobil sampai juga di Rumah Sepeda.

Disambut ramah, air mineral melimpah dan setiap peserta Kelap Kelip satu kotak nasi ayam empuk, enak lagi, dibagikan. Disuguhi filem Serikandi Sepedaan Jakarta Jepara. Dua srikandi itu hadir pula, cantik dn ceria, tepatnya fisik bagus binaan sepeda.

Bagi saya pribadi, ketemu Om Tekat di dunia nyata. Mudah mudahan saya tidak salah. Di benak saya om ini berperawakan kecil lincah kulit kehitaman raut muka ceria. Pasalnya cuma ketemu di group B2W melalui respon nya di sana. Jebulan nya kuli putih bersih, perawakan manager, sikap formal dan dikawal gadis cantik seperti dalam foto. Terkesima saya. Tak sempat tanya, hanya salaman saja.

Rumah sepeda sekarang ada jasa peminjaman sepeda. dipatok 50 ribu untuk pemakaian 12 jam. Wou , alangkah indahnya libur di kota tujuan bila jasa peminjaman sepeda tersedia. Apalagi ada potongan harga bagi anggota B2W ?. Ramai dah. Ha ha hi hi...

Lewat pukul sepuluh malam acara selesai. Keluar dari rumah sepeda langsung merayap lagi di sela sela mobil sampai di Subroto. Sampai juga di Duren Sawit dengan selamat.



Dame Munthe 20 Agustus 2011

Monday 15 August 2011

Jakarta - Jambi - Aceh Sepedaan


Mahasiswa Bandung Ini Mudik ke Jambi Bersepeda Fixie
@}ray • 1 jam yang lalu • 3 komentar di Kategori: Umum

Mahasiswa Bandung Ini Mudik ke Jambi Bersepeda

Senin, 15 Agustus 2011 | 11:36 WIB

TEMPO Interaktif, Bandung - Seorang mahasiswa Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Aji Ekasapta, 22 tahun, memilih mudik Lebaran dengan naik sepeda fixed gear atau fixie ke Jambi. Perjalanan yang dimulai pada Ahad kemarin itu akan menempuh jarak 1.200 kilometer atau selama sembilan hari.

Menurut Aji, perjalanan mudiknya dengan sepeda itu dilakukan selepas subuh hingga pukul 17.00 WIB. Waktu malam dipakai untuk rehat. "Istirahatnya menumpang di rumah anggota komunitas sepeda di kota yang disinggahi," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 15 Agustus 2011.

Hari ini Aji sudah berada di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Rute yang diambilnya melalui Jakarta, Merak, Lampung, Tulang Bawang, Kayuagung, Palembang, kemudian Jambi. Sepanjang perjalanan, teman-teman kampus dan komunitas sepeda mengawalnya bergantian dengan mobil. "Ini bukan untuk memecahkan atau mencatatkan rekor, tapi untuk kesenangan pribadi," ujarnya.

Sebelumnya, pada Januari 2011, ia telah menjajal bersepeda ke Pulau Komodo dari tempat kosnya di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Jarak sejauh 1.800 kilometer itu ditempuhnya selama 18 hari. Setelah itu Aji makin keranjingan dan hingga kini memilih mudik dengan kereta angin. "Sekalian pulang kampung. Saya sebagai warga ingin memberikan sesuatu ke Kota Jambi," katanya.

Ia mengaku tidak dilarang orang tuanya yang sedang menunggu kepulangannya di Kecamatan Telanaipura, Jambi. Sejauh ini tidak ada masalah seperti rantai rusak atau ban bocor dalam perjalanan jauhnya itu. Rencananya setelah Lebaran nanti kakinya akan mengayuh pedal dari Jambi ke Aceh.

ANWAR SISWADI

http://tempointeraktif.com/hg/hobi/2011/08/15/brk,20110815-351847,id.html

HUT Kemerdekaan




Hai Rekan-Rekan yang dibanggakan,

Gempita Hari Kemerdekaan layak kita sambut dengan riang gembira, salah satunya adalah dengan sebuah acara yang kita kenal dengan Kelap-Kelips. Kelap-Kelips kali ini bertemakan "RAMADAN KEMERDEKAAN", karena itu mari kita rayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini dengan suasana yang lain daripada sebelumnya. Dalam acara Kelap-Kelips 18 yang akan dilaksanakan pada Tanggal 19 Agustus 2011 berlokasi di Tugu Proklamasi, Pegangsaan, Jakarta, para pesepeda akan melakukan pembagian tajil yang telah disediakan oleh panitia. Selanjutnya kita akan melakukan perjalanan bersepeda malam bersama menuju Rumah Sepeda untuk mengikuti pembukaan fasilitas penyewaan sepeda dan selain itu acara dilanjutkan dengan Sahur On Road untuk membagikan santap sahur.

Yuuk kita berkumpul bersama di Tugu Proklamasi, Jakarta. Tanggal 19 Agustus 2011, setelah berbuka bersama akan dilakukan kampanye bersepeda menuju Rumah Sepeda Indonesia, berangkat pukul 19.00 WIB dan jangan lewatkan kesempatan pembagian dorprize dan pembukaan penyewaan sepeda. Jangan lupa pasang lampu-lampu isyarat di sepeda untuk meriahkan malam Kelap-Kelips, tak lupa kenakan pelindung kepala. Ditunggu yah kehadirannya, oh ya ini GRATIS alias tidak dipungut biaya sama sekali.

Wednesday 10 August 2011

Sepeda Tanpa "Masa Depan"

Harian Kompas, Senin 1 Agustus
2011 menurunkan headline yang cukup menyengat dengan tajuk “Kota Tanpa “Masa
Depan””. Sebuah sajian tulisan yang cukup menyentil di awal bulan puasa ini.
Isinya mulai dari
segala macam data-data statistik dan berikut tata kelola wilayah yang acak
adut. Coba lihat di gambar peta Jakarta yang sudah dikelilingi oleh sekitar
25 cluster
“kota” baru di timur, barat, selatan dan sekitarnya. Problem lain yang cukup
pelik adalah tidak jelasnya kerangka pengembangan sistem transportasi
publik.
Lengkap sudah potret muram Jakarta yang semakin hari tambah semrawut.


Membaca berita tajuk utama
tersebut, saya terusik untuk melihatnya dari sudut pandang lain. Dari sisi
transportasi tentunya, yaitu kampanye
bersepeda ke tempat kerja, khususnya bagi mereka yang bekerja di kota
Jakarta.
Di tengah kesemrawutan transportasi publik dan kemacetan “pamer paha” (padat
merayap tanpa harapan) setiap hari, opsi bersepeda ke kantor atau aktivitas
lain masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang dan bukan sebagai
solusi
praktis yang punya multi manfaat.


Saya tidak mau berargumen panjang
lebar untuk meyakinkan mereka mulai bersepeda, toh kenyataannya semakin
banyak
warga Jakarta sudah jenuh dengan kemacetan menggila yang membuat kota ini
memang sudah jadi kota tanpa “masa depan”. Lantas, kalau sudah begitu apakah
ada solusi jitu dalam menyikapi soal kemacetan tadi ? Tentu ada. Dan jawaban
out-of-the-box-nya adalah niat dan kemauan untuk olah dengkul sekaligus
olahraga menggenjot sepeda ke tempat kerja.


Peta Jakarta sendiri terlihat
dikerubuti oleh lingkaran-lingkaran cluster kecil dan besar berupa
lingkungan
perumahan mulai dari yang skala bawah, menengah sampai atas. Coba bayangkan
kalau di hari kerja jalan-jalan protokol ibukota bisa diramaikan oleh
pesepeda
yang datang dari lingkaran-lingkaran kecil dan besar tersebut menuju tempat
kerjanya masing-masing di
berbagai wilayah di Jakarta. Ada banyak unsur positif yang bisa diambil dari
fenomena tersebut. Penghematan sudah jelas, kesehatan lebih baik, senang ya
pasti
karena banyak teman. Kalau sudah begitu, halangan untuk bersepeda ke tempat
kerja rasanya bukan hal yang mustahil untuk diatasi, walaupun membutuhkan
waktu
dan kiat tertentu.


Tetangga sekomplek saya pernah
berujar,”Lalu lintas di Jakarta memang benar-benar edan, untuk jarak pendek
di
bawah 10km saja butuh waktu tempuh lebih dari 1 jam, apalagi kalau turun
hujan.” Itu
ungkapan yang ia ucapkan sekitar 2 tahun yang lalu dan selama 2 tahun itu
pula
saya dengan sabar memprovokasinya untuk mencoba mengambil alternatif
bersepeda
ke tempat kerja. Kadang-kadang saya hanya secara pasif pamer bersepeda saja
di
depan rumahnya sekedar mengingatkan, ini lho naik sepeda itu enak.


Kejutannya adalah awal bulan Juli
lalu, ia berhasil membeli sebuah sepeda lipat yang mumpuni, atas hasil tanya
sini tanya sana ke beberapa rekan. “Disambi dengan commuter line dululah,”
katanya sambil
cengengesan. Ternyata tidak percuma hasil provokasi saya selama 2 tahun
belakangan ini. Dia juga berhasil mengatasi halangan yang selama ini selalu
dijadikan alasan dan memberatkannya untuk bersepeda ke tempat kerja. Tempat
mandi di kantor sudah tidak jadi masalah. Mobilisasinya juga lancar karena
ia
menitipkan mobilnya di kantor yang hanya dipergunakan kalau ada janji dengan
client di luar kantor atau kegiatan sales. Pada akhir minggu, mobil ia bawa
pulang dan sepeda lipat dimasukkan ke dalam bagasi. Praktis sudah
terpecahkan
keluhannya tentang kemacetan di kota yang katanya tanpa “masa depan”.


Nah, terbayang kan kalau ada
seribu saja orang seperti tetangga saya yang berbuat hal yang serupa. Angka
tersebut
idealnya harus terus bermultiplikasi sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebagian
orang masih saja menggerutu kesal tak berdaya menghadapi kemacetan parah
sehari-hari. Namun di sisi lain, ada sebagian orang yang melihat celah
dengan
bertindak keluar dari comfort zone
dan mengayuh sepedanya ke tempat kerja ke kota yang katanya tanpa “masa
depan”.
Sebuah tindakan positif penuh masa depan yang cerah dan patut diacungi
jempol.


Bagaimana menurut
anda ?
Ivan